Nia Kurniawati, S,Sos
Sumber Daya Manusia
merupakan aset yang sangat penting. Agar sumber daya manusia bisa produktif dan memiliki kinerja yang baik,
harus sehat secara fisik maupun mental. Definisi Kesehatan menurut
undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yaitu “ Kesehatan adalah
keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual, maupun secara sosial yang memungkinkan setiap orang
untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Hasil penelitian World
Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa depresi dan kecemasan menyebabkan
kerugian ekonomi global sebesar 1 trilyun USD setiap tahunnya akibat hilangnya
produktivitas sumber daya manusia.
Definisi Kesehatan mental
menurut WHO “:Mental health is defined as a state of
well-being in which every individual realizes his or her own potential, can
cope with the normal stresses of life, can work productively and fruitfully,
and is able to make a contribution to her or his community.” Dan
definisi Kesehatan jiwa menurut undang-undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang
Kesehatan jiwa. “Kesehatan Jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat
berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu
tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja
secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya”.
Kondisi Kesehatan jiwa seseorang
dikategorikan menjadi dua, yaitu Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) yaitu
orang yang memiliki masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan
perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki risiko mengalami
gangguan kejiwaan. Dan Orang dengan gangguan Jiwa (ODGJ) yaitu orang yang
mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi
dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta
dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi sebagai
manusia.
Adapun gangguan jiwa berat yaitu
gangguan jiwa yang ditandai oleh terganggunya kemampuan menilai realitas atau
tilikan (insight) yang buruk. Yang memiliki gejala halusinasi, ilusi,
waham (suatu keyakinan yang tidak rasional/tidak masuk akal), gangguan proses
pikir, kemampuan berpikir, serta tingkah laku yang aneh.
Menurut data World Health
Organization (WHO) regional Asia Pasifik jumlah penderita gangguan mental di
Indonesia sebanyak 9.162.886 kasus atau sebanyak 3,7 % dari populasi (2018),
Depresi menjadi kontributor utama kematian akibat bunuh diri yang mendekati
800.000 kejadian bunuh diri setiap tahunnya, dan menurut catatan data dari
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
(2018), Prevalensi gangguan emosional pada penduduk usia 15 tahun ke atas,
meningkat dari 6% di tahun 2013 menjadi 9,8% di tahun 2018. Stigma negatif di
masyarakat terhadap penderita gangguan mental ini memperparah jumlah
peningkatan jumlah penderita gangguan mental ini. Stigma di cap gila oleh
masyarakat dan rasa malu bila diketahui memiliki gangguan mental yang menyebabkan
tidak adanya penanganan oleh Ahli kejiwaan sehingga memperparah kondisi si
penderita karena pengetahuan masyarakat terhadap Kesehatan mental dan gangguan
mental ini masih rendah. Stigma negatif yang melekat pada penderita gangguan
mental ini yang harus mulai diberikan edukasi dengan menggalakan literasi
terkait Kesehatan mental.
Literasi Kesehatan mental
diartikan menurut Jorm (2000)
memperkenalkan istilah “literasi kesehatan mental”
dan mendefinisikannya sebagai pengetahuan dan keyakinan mengenai gangguan
mental yang membantu pengenalan, manajemen, atau prevensi”
Menurut Kutcher, Wei, & Coniglio, 2016, literasi
Kesehatan mental dalam pengembangan penelitian yaitu:
1.
Pengetahuan tentang
bagaimana mencegah gangguan mental;
2. Pengetahuan tentang
kondisi gangguan mental dasar;
3. Pengetahuan tentang
opsi pencarian pertolongan dan perawatan yang tersedia;
4. Pengetahuan tentang
strategi pertolongan mandiri yang efektif untuk masalah yang lebih ringan;
dan
5. Keterampilan pertolongan pertama untuk mendukung orang lain yang
mengalami gangguan mental atau berada dalam krisis kesehatan mental
Dengan literasi Kesehatan mental ini diharapkan dapat membuka pemahaman masyarakat terkait gangguan mental dan menghapus stigma negatif yang melekat agar tidak terjadi lagi kesenjangan baik dari segi sosial, pelayanan penangangan, dan dukungan di masyarakat terhadap penderita gangguan Kesehatan mental dan mengurangi jumlah penderita gangguan mental ini.
-Nia
Kurniawati, S,Sos -